Mengenali Wajah Yesus di Indonesia
Homili Perayaan 50th Provinsi Indonesia
Dalam Injil hari ini kita mendengar Yesus bertanya kepada para murid, siapa dirinya menurut mereka. Dan ketika Petrus salah menjawab, Yesus menegurnya dengan keras. Identitas itu perkara sensitif. Orang bisa gelisah karena sedang mencari identitas. Orang juga bisa berkelahi karena salah identitas. Sebaliknya, hidup bisa lebih bermakna karena kejelasan identitas.
Ketika Pater Jenderal Pedro Arrupe meresmikan berdirinya Provinsi Indonesia Serikat Jesus, ada kebanggaan karena identitas Indonesia ini diakui. Meskipun sudah hadir di bumi Nusantara sejak 1859, sampai saat itu para Jesuit masih merupakan bagian dari Serikat Jesus di Belanda. Baru pada tanggal 8 September 1971 para Jesuit di sini mendapatkan identitas mandiri sebagai Provinsi Indonesia. Bangga tentu saja, tetapi apakah perkara identitas selesai dengan nama lokal ini? Rupanya tidak.
Persis setelah peresmian provinsi tadi, para Jesuit di Indonesia masih bertengkar, seberapa Indonesiakah Provinsi Indonesia itu? Saat itu jumlah Jesuit asli Indonesia 145 orang, dan jumlah Jesuit misionaris asing 169 orang. Hampir berimbang. Warisan budaya Belanda masih sangat kuat, dan tak terhindarkan kasak kusuk tentang identitas Indonesia. Kita bisa menangkap kekhawatiran tentang identitas ini dalam surat yang ditulis oleh Rm Woerkens di Internos, majalah internal Serikat, pada bulan Mei 1974.
“Dalam Internos kerap kali kita membaca soal-soal Indonesianisasi. … Akan tetapi kerap kali juga kata-kata yang kurang tepat digunakan dalam karangan-karangan itu, yang menyakiti hati kami…Kata-kata sbb: tenaga asing, tenaga full time, dikerjakan untuk beberapa tahun (kuli kontrak). Gereja bukan perusahaan dengan tenaga luar negeri dan tenaga pribumi. Tenaga luar negeri yang hanya ditolerir dan digunakan seperlunya. …Apakah dengan tulisan seperti itu kita tidak membentuk suatu polarisatie yang tidak perlu? Dan merusak cinta kasih antara kita.” Kebetulan Rm Woerkens ini bertugas di Paroki Ambarawa saat itu dan kemudian membaptis saya sebagai bayi.
Identitas bukan hanya tentang siapa, tetapi juga tentang apa yang dilakukan. Petrus mungkin benar ketika mengatakan bahwa Yesus adalah Mesias, tetapi dia salah memahami apa yang harus dilakukan oleh Sang Mesias. Dalam 50 tahun terakhir, Serikat Jesus juga kadang-kadang bingung menempatkan diri di tengah masyarakat Indonesia yang dinamis. Salah satu kebanggaan Serikat Jesus di masa lalu adalah karya Institut Sosial yang menanggapi persoalan kemiskinan dan ketidakadilan. Dalam suatu pertemuan antara Provinsial Rm C. Putranto dengan para aktivis Institut Sosial di bulan Oktober 1991, salah satu aktivis protes.
“Awal IS didirikan terutama bergerak dalam bidang penelitian. Sekarang lain. Bagaimana dengan kontinuitas, karena ini menyangkut kami juga? Mana tanggung jawab SJ? Di sini hanya ada seorang romo, yang menjadi direktur. Kehadiran romo memiliki arti simbolik yang penting. Kami, tidak sekedar bekerja pada IS, dan juga tidak sekedar melaksanakan obsesi SJ. Tetapi kami berpartisipasi dalam cita-cita, pandangan dan spiritualitasnya.”
Mesias ala Petrus itu seharusnya dielu-elukan, disembah seperti Raja, membebaskan bangsa Yahudi dari penjajahan Romawi. Akan tetapi Yesus justru menekankan sebaliknya. Mesias itu harus menderita, memanggul salib, bahkan mati. Konsekuensi dari mengikuti Yesus yang rela mati ini memang tidak main-main. Dalam konflik seputar jajak pendapat dan kemerdekaan Timor Leste tahun 1999, Serikat Jesus Indonesia kehilangan dua orang Jesuit yang mati dibunuh, yaitu Rm Tarcisius Dewanto tanggal 6 September 1999 dan Rm Albrecht Karim Arbie lima hari sesudahnya. Ketika kekerasan meletus menjelang dan sesudah jajak pendapat, sebenarnya para Jesuit ditawari untuk mengungsi dan meninggalkan Timor Leste, tetapi mereka memilih untuk tetap bersama umat yang mengungsi ke gereja, ke seminari bahkan ke pastoran. Frater Bagus Laksana yang waktu itu bertugas sebagai pamong siswa di SMU St Joseph menggambarkan saat-saat genting itu.
“Mulai jam 8.00 pagi tembakan sudah mulai membabi buta. Pagi hari itu segera timbul isu lagi bahwa SMU St Joseph akan dibakar siang harinya oleh milisi Besi Merah Putih. Isu ini membuat banyak pengungsi takut dan akhirnya pergi entah ke mana. Saya sendiri waktu itu terus mengamati keadaan di jalanan. Saya mencurigai sebuah mobil Toyota hardtop merah yang berisi beberapa milisi Aitarak. Kelihatan mobil itu mau masuk ke SMU tapi karena pintu gerbang terkunci, mereka membatalkan niatnya. Tetapi mereka datang lagi dan memaksa meloncat pagar SMU. Waktu itu Romo Edu juga melihat gerak gerik mereka. Romo langsung menyongsong mereka dengan langkah berani. Saya mengawasi Romo Edu dari belakang. Saya waktu itu cemas sekali kalau-kalau milisi itu akan menghabisi Romo Edu. Murid-murid saya sudah lemas begitu melihat Romo mendekati para milisi itu. Mereka memeluk saya erat-erat sambil menangis. Tapi ternyata para milisi itu masih sangat sopan dan hormat pada Romo Edu. Mereka malah menangis dan memeluk serta mencium tangan Romo Edu.”
Keterlibatan para Jesuit dan rekan-rekan awam dalam peristiwa jajak pendapat di Timor Leste, Reformasi 1998, serta konflik di Aceh dan Ambon di mana Jesuit Refugee Service bekerja, semuanya merupakan konsekuensi mengikuti Kristus yang rela memanggul salib di bumi Indonesia. Terus terang saja, mengenali Yesus sering terasa mudah dalam situasi-situasi krisis seperti itu. Akan tetapi memanggul salib tidak selalu berarti menderita secara fisik. Kita kenal orang-orang yang setia bekerja dalam sepi, hidup mengabdi ilmu pengetahuan. Rm Zoetmulder dan Rm Kuntara Wiryamartana menekuni naskah-naskah Jawa kuna hingga akhir hidup mereka? Br Kirdjautama setia menemani anak-anak dari keluarga kurang mampu di Yogyakarta untuk berlatih menukang dan belajar hidup mandiri. Belum lagi para dosen dan guru di perguruan tinggi dan sekolah-sekolah kita yang bergumul dengan borang akreditasi dan laporan keuangan.
Perjalanan mengenali wajah Yesus di tengah Gereja dan masyarakat Indonesia memasuki babak baru tahun ini di usia Provinsi yang ke-50, yang terjadi bersamaan dengan peringatan 500 tahun pertobatan St Ignatius. Pesan utama dalam peringatan-peringatan ini adalah pertobatan, perubahan hidup. Lalu perubahan macam apa yang dituntut oleh Allah dari para Jesuit? Bacaan pertama dari surat Rasul Yakobus tadi memberi kita petunjuk yang terang benderang: kesatuan antara kata dan perbuatan, antara iman dan tindakan. Serikat Jesus tidak ingin hanya jadi pabrik kata-kata. Kita ingin punya integritas dan itu dimulai dengan kemauan untuk rendah hati. Kerendahan hati itu ibu semua keutamaan. Kerendahan hati akan membuat kita lebih terbuka pada perubahan zaman, lebih bertanggungjawab dalam membangun relasi, dalam bekerja bersama rekan-rekan awam, juga dalam berkomunitas dengan sesama rekan Jesuit. Ringkasnya, kerendahan hati akan membuat kita siap untuk dibarui dan diutus dalam Kristus seperti tema perayaan ini. Marilah kita bersama-sama mohon rahmat kerendahan hati ini.