Dalam Kristus, Kita dibarui dan diutus
500th Ignatius dan 50th Provindo
Tahun Ignasian ini memperingati satu peristiwa unik yaitu hancurnya mimpi dan cita-cita seorang pemuda ningrat kampung karena kakinya terkena tembakan peluru meriam. Inigo, pemuda Gipuzkoa itu, terkena tembakan kala mempertahankan benteng Pamplona dari serbuan tentara Prancis. Romo Sardi menulis di buku Berani Ambil Keputusan (2018): “Prancis datang dengan 12.000 prajurit, 800 tombak, dan 29 meriam, sedangkan Kerajaan Castilla yang dibela Inigo menghadapinya hanya dengan 1.000 orang prajurit. Mengetahui hal ini, para pemimpinnya pun mundur, termasuk Martin Garcia kakak Inigo. Namun Inigo bersikukuh, malahan ia memacu kudanya makin kencang. Dikobarkan oleh ambisi untuk memperoleh harga diri di hadapan raja, Inigo memutuskan untuk mempertahankan benteng atau mati. Bagi Inigo, perang adalah kesempatan emasnya untuk membuktikan baktinya yang total kepada raja dan para putri kerajaan impiannya.”
Hancurnya kaki dan mimpi Inigo menjadi awal bagi bangkitnya Ignatius dan cita-citanya yang baru. Ia kemudian dikenal sebagai pendiri Serikat Jesus dan seorang mistikus agung Gereja. Itulah cannonball moment Inigo. Ambisi dan mimpi gombal Inigo berubah menjadi semangat dan cita-cita merasul Ignatius Loyola. 500 tahun yang lalu lahir manusia baru yang digerakkan oleh cinta yang berkobar-kobar untuk mengabdi Tuhan. Karena tembakan meriam itulah kita di sini. Karena pertobatan Inigo itulah kita menjadi pengikut Ignatius Loyola, kita para Jesuit, para suster, rekan-rekan awam. Maka, berbeda dari kebanyakan perayaan, Tahun Ignasian tidak berisi nostalgia atau pamer kesuksesan. Selama satu tahun ke depan kita menyelam ke kedalaman pengalaman, menemukan cannonball moment baru.
Namanya bisa cannonball moment, pertobatan, atau born again dalam istilah gerakan Evangelis, atau Hijrah dalam istilah umat Islam, atau Pencerahan dalam Budhisme. Semuanya mengandung makna perubahan karena perjumpaan pribadi dengan Allah yang menyelamatkan. Di awal tadi kita menyaksikan kesaksian Simona dari Bologna, Frater Andre Mantiri yang sekarang tinggal di Jogja, dan Kiki penyintas kekerasan seksual. Masing-masing mengalami perjumpaan dengan Allah yang unik, melalui orang-orang yang tak terduga, tapi juga anggota keluarga sendiri, lewat peristiwa-peristiwa biasa maupun tak biasa, bahkan melalui tragedi. Kita semua punya pengalaman sejenis itu. Bedanya, apakah pengalaman itu telah mengubah kita? Atau berlalu begitu saja sebagai nostalgia? Tahun Ignasian hanya akan bermakna bila ia mengubah kita.
Tantangan untuk berubah itu dirumuskan oleh Pater Jenderal dalam tema “Melihat Segala Sesuatu Baru di dalam Kristus” yang di Indonesia kita modifikasi menjadi “Dalam Kristus Kita Dibarui dan Diutus” sekaligus untuk menandai ulang tahun ke-50 berdirinya Provinsi Indonesia Serikat Jesus yang jatuh pada tanggal 8 September 2021 nanti. Tema itu menempatkan Kristus sebagai sumber kebaruan yang diharapkan terjadi di Tahun Ignasian ini. Dalam bacaan pertama 2 Korintus bab 5, Paulus memaknai kematian dan kebangkitan Kristus sebagai kematian terhadap segala keinginan sendiri dan kebangkitan manusia baru yang hidup bagi Allah dan sesama. Siapapun yang hidup dalam Kristus menjadi ciptaan baru ini. Inilah altruisme Kristiani, daya yang menggerakkan kita semua untuk menaruh kehendak Allah di atas kehendak dan kepentingan kita sendiri.
Perubahan itu diharapkan terjadi baik secara pribadi maupun dalam komunitas dan karya-karya kita. Universal Apostolic Preferences atau Pilihan Kerasulan Universal telah memberi arah bagi perubahan kolektif ini. Kita semua sudah sangat akrab dengan empat pilihan tersebut: menunjukkan jalan menuju Allah, berjalan bersama mereka yang miskin dan tersingkir, menemani kaum muda, dan merawat bumi sebagai rumah bersama. Di hadapan tuntutan untuk berubah secara kolektif ini, godaan terbesar adalah mengacungkan jari ke arah orang lain, sosok luar sana, lembaga atau “sistem” anonim, asal bukan saya. Akan tetapi kita semua adalah bagian dari sistem yang perlu berubah itu. Kesadaran ini mutlak perlu agar Tahun Ignasian berbuah seperti yang diharapkan.
Empat arah perubahan itu tidak berada di ruang kosong. Sebagai Serikat yang hidup dan berkarya di Indonesia, situasi tanah air tercinta ini ikut membentuk pertobatan kita. Menunjukkan jalan menuju Allah dalam konteks keragaman agama dan kepercayaan di Indonesia berarti kita diundang untuk mengenali Allah yang sama itu dalam pengalaman beriman yang berbeda-beda. Kita juga mengalami bahwa agama telah menjadi komoditas dagang dan kompetisi politik sehingga menjadi dangkal dan kehilangan makna sebagai jalan pembebasan dan keterlibatan. Mampukah kita membuka ruang-ruang baru menuju Allah?
Berjalan bersama orang miskin dan tersingkir mengajak kita melihat dunia dari sudut pandang mereka. Bagi mereka, dunia ini keras dan mungkin kejam karena tidak memberi kesempatan untuk memperbaiki nasib terutama di tengah pandemi seperti ini. Perspektif ini bisa sangat asing bila kita selalu berada di sisi pemenang, di sisi laki-laki dan pemimpin agama yang menangan, atau mengalami sistem yang berpihak dan mendukung kita. Beranikah kita mengalami dunia yang keras itu bersama mereka? Berjalan bersama juga menuntut relasi yang didasari rasa hormat seperti yang kita wujudkan dalam kebijakan perlindungan anak-anak dan dewasa rentan. Sudah saatnya Gereja, termasuk kita, menempuh langkah konkret untuk mengatasi persoalan pelanggaran dan kekerasan seksual di dalam lingkungan dekatnya.
Seperti halnya orang miskin, kaum muda dan situasi mereka adalah locus theologicus atau kacamata bagi kita untuk mengenali gerak Roh di dunia. Gereja di banyak tempat kerap dipandang sebagai institusi yang sudah renta, lambat jalannya, hirarkis dan tradisional. Sementara kaum muda lebih tertarik pada yang lincah, dinamis, dan eksperimental. Gereja itu persis seperti sekolah di masa pandemi yang membosankan sementara siswa-siswi sudah mengelana jauh dengan persoalan yang tak dipahami guru dan orang tua mereka. Kepada kaum muda, kami ingin belajar dari kalian, mendengarkan dan mengenali pergulatan kalian.
Dalam merawat ibu bumi, sains tentang perubahan iklim tersedia melimpah dan bisa menjadi dasar melakukan analisis ilmiah. Akan tetapi, mempunyai pengetahuan belum tentu mengubah tindakan kita. Pernahkah kita mengubah gaya hidup karena keinginan untuk menjaga lingkungan? Apakah lembaga-lembaga kita boros, digerakkan oleh proposal bisnis dan logika keuangan saja?
Santo Ignatius Loyola menulis dalam Latihan Rohani (230), “Cinta harus lebih diwujudkan dalam perbuatan daripada dalam kata-kata”. Maka sebaiknya saya tidak berpanjang kata dalam homili ini. 20 Mei 1521, sebuah peluru meriam mengubah hidup seorang pemuda di Pamplona. 500 tahun kemudian, daya ubah peristiwa itu masih bersama kita. Semoga Allah memberi kita rahmat yang cukup untuk meneruskan semangat perubahan itu dalam hidup kita masing-masing, dalam komunitas, dan dalam karya-karya kita. Amin.